Pagi itu sekitar pukul 05.30 WIB., istri saya yang sedang hamil sembilan bulan mengabari dari rumah melalui BBM bahwa dia mengalami keluar cairan seperti ketuban. Dalam chat singkatnya, dia menulis bahwa cairan itu sudah keluar sejak pukul tiga dini hari. Saya yang saat itu baru bangun tidur sehabis menunaikan tugas piket jaga malam di kantor, sontak kaget membaca pesan chat tersebut. Maka tidak menunggu waktu lama, dari kantor saya langsung bergegas pulang tanpa menunggu petugas kebersihan kantor datang (biasanya menunggu petugas datang dulu baru beranjak pulang).
Ketika sampai di depan rumah, saya heran, karena masih melihat sang istri melakukan rutinitas pagi seperti biasa, menyapu halaman rumah meski terlihat jelas di wajahnya sudah menampilkan raut warna agak pucat. Dia memang seperti itu, sejak hamil trisemester pertama hingga saat-saat pra melahirkan, tidak pernah sekalipun saya melihat dia memanjakan tubuhnya. Dia melakukan hampir semua pekerjaan seorang istri seperti bukan wanita yang sedang mengandung. Kalau boleh saya memuji, dia adalah wanita paling teguh yang pernah saya temui di muka bumi. Namun kala itu, keperkasaannya terpaksa saya hentikan dan saya suruh dia untuk beristirahat, meski tetap saja dia melanjutkan kibasan laju sapu lidinya hingga dedaunan kering dan sampah terkumpul di tong sampah, baru dia mau rehat. Tak pernah saya jumpai raut wajah seletih hari itu semenjak awal kehamilannya.
Dengan perasaan cemas, saya pun sesegera mungkin menjemput paraji kampung dekat rumah yang sudah pengalaman dan sering membantu bidan dalam proses persalinan. Melihat keadaan istri, paraji itu bilang, katanya sebaiknya langsung saja menghubungi bidan karena tanda-tanda persalinan tampak sudah dekat. Saya pun mengeluarkan telepon genggam dari saku celana dan segera menghubungi bidan desa yang biasa kami datangi setiap memeriksakan kandungan rutin bulanan.
Selang lima belas menit, tepatnya pukul 06.30 WIB, akhirnya bidan yang tadi saya telepon datang dengan pakaian dinas PNS cokelat dan sekotak peralatan medis. Setelah mempersilahkan beliau masuk, sang istri langsung disuruh berbaring di ranjang kamar depan yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah saya dan istri persiapkan untuk proses bersalin kalau-kalau melahirkan di rumah.
Hasil pemeriksaan bidan mengatakan bahwa beliau masih bingung dan tidak bisa memastikan apakah cairan yang keluar itu adalah air ketuban sebagai pertanda bayi akan lahir atau cuma cairan lain. Katanya harus dilakukan USG terlebih dahulu dan menyerahkan hasil gambarnya kepada beliau supaya bisa diketahui secara pasti. Meski sedikit aneh dengan pernyataan beliau serta jadi ragu akan keprofesionalannya sebagai bidan (tidak adakah ilmu kebidanan yang mempelajari tentang ciri-ciri ketuban?), sebagai suami sekaligus calon ayah dari anak pertama yang belum punya pengalaman sama sekali perihal persalinan, walhasil saya pun harus mengikuti saran dan anjuran si bidan. Dari dalam tasnya, beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas lalu menulis rujukan USG ke salah satu tempat praktik dokter kandungan yang kami pilih. Kemudian beliau pun pergi meninggalkan rumah kami (kemungkinan berangkat ngantor ke Puskesmas, jika dilihat dari seragam yang dipakai) setelah sebelumnya sudah saya beri amplop berisi uang atas jasanya memeriksa istri.
Jam buka tempat praktik dokter kandungan masih lama, berselang dua jam lagi, yaitu pukul 9.00 WIB baru menerima pendaftaran pasien. Dalam kondisi seperti itu, masih teringat betul betapa terasa lamanya detak jarum jam berputar, seolah lebih pelan dari biasanya. Dua jam itu serasa setengah hari. Ya, rasanya seperti setengah hari kami menunggu.
Lima belas menit sebelum jam buka, saya memutuskan untuk berangkat setelah sebelumnya sudah mendaftarkan istri melalui sms ke nomor resepsionis si dokter, dan mendapat urutan nomor delapan. Selama perjalanan ke tempat USG, di belakang saya, sesekali istri mengeluhkan mules-mules, itu hal yang wajar kata saya menyabarkannya. Dengan membawa perasaan tidak karuan seperti saat itu, perjalanan lima kilometer kami dengan menggunakan sepeda motor terasa tiga kali lipat lebih lama.
Pada saat sampai di tempat praktik dokter, kami hanya menunggu dua pasien saja sebelum tiba giliran nomor urut dan nama istri disebut oleh bagian tiket untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Itu adalah kali kedua istri saya menjalani USG di tempat tersebut, kali pertama adalah sebulan yang lalu ketika kami penasaran dengan jenis kelamin si janin kala usia kandungan delapan bulan. Jadi, sudah tidak asing lagi.
Ruangannya didesain senyaman mungkin bagi pasien, alunan musik pelan senantiasa mengalun dari sound komputer si dokter, saya ingat saat itu lagu milik Kahitna yang diputar. Si dokter pun sedikit-sedikit dengan nada pelan mengikuti lirik lagu seperti yang dilantunkan oleh sang vokalis. Di sana juga terdapat layar monitor 32" di dinding untuk melihat secara jelas gambar proses USG, dan tentu saja matras tempat berbaring pasien hamil saat diperiksa. Saya duduk di kursi di hadapan meja dokter, sementara sang istri dipandu asisten dokter untuk berbaring di matras yang barusan disebut.
Selang beberapa saat, dokter mulai mengoleskan jel khusus (penulis tidak tahu nama jelnya) dan meratakannya dengan alat deteksi USG (penulis juga tidak tahu apa nama alat tersebut) yang ada di tangannya. Sementara alat yang dipegang oleh dokter tersebut berkeliling menjelajah di permukaan perut buncit sang istri, di monitor, kami berdua menyaksikan secara jelas gerakan demi gerakan calon buah hati kami di dalam rahim. Sepertinya kelihatan sehat, normal dan dalam kondisi baik-baik saja. Di sesi pemeriksaan terakhir, dokter menghentikan (mem-pause) gerakan gambar di monitor, lalu menarik garis lurus berwarna putih menggunakan mouse. Perkiraan saya, mungkin dokter sedang mengukur panjang atau berat badan calon bayi kami.
Terdiam sesaat, si dokter lalu mengatakan bahwa istri saya sudah saatnya melahirkan dan akan dirujuk langsung ke rumah sakit. Namun dokter juga mengatakan bahwa proses persalinannya ada indikasi untuk di-Cesar (operasi bedah melalui perut). Alasan dokter adalah bahwa calon bayi kami terlalu besar, beratnya berkisar 3,660 gram sedangkan panggul istri termasuk kategori berukuran sempit, sehingga mustahil jika dilahirkan secara normal. Sungguh diagnosa yang aneh dan seperti dibuat-buat. Padahal jika kami harus flashback ke belakang, pada saat USG pertama, si dokter bilang kalau calon bayi kami sangat kurus, jadi istri saya disarankan harus banyak minum vitamin. Dokter itu sendiri yang kemudian menuliskan resepnya untuk ditebus dan harus diminum sampai habis. Harganya cukup mahal, sekitar empat ratus ribuan lebih.
Saya kaget, begitu juga dengan sang istri yang memang acap kali sebelum-sebelumnya sering bercerita kalau dia takut dan tidak mau jika pada saat melahirkan dilakukan dengan cara Cesar. Istri juga sempat menceritakan pengalaman-pengalaman temannya yang di-cesar, memang tidak lebih sakit dari melahirkan secara normal, namun katanya (teman istri saya) proses penyembuhannya yang akan memakan waktu lebih lama. Biayanya pun jauh lebih mahal (jika tidak menggunakan BPJS Kesehatan). Maka dari itulah, kamu berdua menghendaki untuk tidak di-cesar.
Saya dan istri sempat menolak dan bersikukuh dengan keputusan kami yang menginginkan melahirkan secara normal, namun dokter justru mengatakan bahwa apabila persalinan dipaksakan secara normal (keluar dari mulut rahim), resikonya adalah terjadi robek pada rahim dan menyebabkan kematian sang ibu atau calon bayi. Sungguh penjelasan yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi kecil hati dan hilang nyali. Dokter pun sempat membuat logika dengan menyuruh saya mengepalkan tangan dan memasukkannya ke dalam lubang toples berisi permen yang ada di atas mejanya. Lubang mulut toples itu lebih kecil dari kepalan tangan saya, jadi tidak mungkin kepalan tangan bisa masuk ke dalamnya. Kepalan tangan saya itu diibaratkan seolah-olah adalah kepala bayi, sedangkan mulut toples itu diumpamakan sebagai tulang panggul istri saya. Itu analogi yang dibuat dokter sebagai contoh persamaan bahwa suatu ketidakmungkinan jika istri saya bisa bersalin secara normal.
Akhirnya dengan perasaan takut, cemas, was-was, berat hati, kecewa dan perasaan tidak karuan lainnya, kami pun mau menerima keputusan dokter untuk dirujuk ke rumah sakit dan bersalin melalui proses cesar. Kami pikir mungkin itulah jalan yang terbaik, karena dokter jauh lebih mengerti persoalannya daripada kami. Kami hanya bisa pasrah.
Dokter menyarankan kepada kami agar istri dicesar di salah satu rumah sakit swasta agar bisa langsung diproses pada keesokan harinya (hari libur). Karena saat itu adalah hari Rabu, bertepatan dengan sehari sebelum libur panjang selama empat hari (Kamis-Minggu, 5-8 Mei 2016, hari libur Kenaikan Yesus dan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW). Kata dokter, jika kami memilih rumah sakit negeri, maka beliau baru bisa melakukan operasi bedah cesar sekitar hari Senin atau diupayakan hari Sabtunya. Tapi kami menolak dan lebih memilih untuk dirujuk di rumah sakit negeri, dengan harapan bahwa jeda waktu akan membawa keajaiban Tuhan (Si bayi keluar secara normal) sebelum tanggal penanganan operasi itu dilaksanakan.
Dari tempat praktik dokter, kami sempat pulang. Rencananya, kami akan mendaftarkan ke rumah sakit negeri hari Jumat sore (sehari sebelum penaganan operasi), namun ternyata menjelang petang sang istri bilang kalau cairan itu terus mengalir dan semakin banyak. Karena panik, pada pukul 16.45 WIB, saya memutuskan untuk membawa istri ke rumah sakit dan langsung menuju ke bagian IGD (Instalasi Gawat Darurat). Di sana, saya langsung melakukan registrasi, pengisian biodata dan administrasi awal lainnya, kemudian baru setelah itu istri saya ditempatkan di salah satu ruang perawatan pasien IGD bersama pasien gawat darurat lainnya. Selang beberapa saat, di luar tampak mertua beserta para saudara datang dengan membawa berbagai macam barang dan persediaan untuk bermalam di rumah sakit. Lalu saya pun ikut bergabung bersama mereka, bersama-sama dalam satu tempat yang tak jauh dari ruangan perawatan menunggui istri. Kami saling bergantian menjaga di dalam, karena di ruangan tersebut, pasien hanya boleh ditunggui oleh satu orang saja.
Petang berganti malam, malam berganti pagi, hingga hari pun bergullir Kamis, ternyata calon buah hati yang kami gadang-gadang tak jua kunjung keluar. Sementara itu, jumlah pasien pendatang baru di ruang IGD semakin bertambah banyak. Akhirnya pihak rumah sakit memutuskan untuk memindahkan sementara istri saya dari ruangan tersebut ke ruang nifas (ruangan yang seharusnya digunakan pasca bersalin). Salah satu perawat bilang bahwa istri saya boleh dibawa kembali ke tempat tadi (ruang IGD), jika tanda-tanda melahirkan muncul kembali.
Di ruang nifas itulah, tahapan demi tahapan "pembukaan" mulut rahim terjadi. Istri mulai sering merasakan kontraksi di bagian perutnya. Dan hal itu semakin sering lagi dirasakan pada ba'da duhur, sampai pada akhirnya saya memanggil bidan jaga untuk memeriksa kondisi istri. Hasil pengecekan bidan, pada pukul 14.00 WIB menyatakan bahwa istri saya sudah mengalami pembukaan tahap lima dan harus dibawa kembali ke ruang IDG untuk dilakukan tindakan proses persalinan. Lalu istri saya pun dinaikkan ke matras troli lalu didorong oleh perawat menuju tempat awal kami di rawat, namun kali ini bukan lagi di ruang perawatan, melainkan langsung masuk ke ruang bersalin. Saya bersyukur atas perkembangan ini.
Pikir saya, di ruangan tersebut istri akan langsung ditangani oleh para bidan rumah sakit. Ternyata dugaan saya salah. Segala penanganan atau pun tindakan rumah sakit adalah bergantung kepada instruksi dokter yang memberi rujukan. Para bidan tidak bisa langsung melakukan tindakan karena pada kertas rujukan dokter tertulis bahwa istri saya harus di-cesar sesuai jadwal operasi yang sudah ditentukan (Sabtu, 7 Mei 2016). Sekilas terlihat salah satu bidan jaga menelefon si dokter, menceritakan kondisi terbaru yang dialami istri saya. Selesai melakukan obrolan via telepon, bidan tersebut mengatakan kepada saya bahwa perintah dokter adalah untuk sementara masih dilakukan "observasi", yang artinya pasien masih harus melanjutkan perawatan dahulu dan belum boleh ditangani menunggu hingga ada indikasi-indikasi tahap selanjutnya. Saya pun kembali kecewa, apalagi melihat kondisi istri yang semakin melemah karena menahan rasa sakit akibat kontraksi yang bertubi-tubi. Dalam hati saya bertanya-tanya, keadaan yang sudah seperti ini, apakah masih tetap harus menunggu sampai hari Sabtu? Sedangkan sekarang masih hari Kamis. Gila! Saya mengumpat di dalam hati. Istri saya tidak akan mungkin mampu bertahan melewati sehari lagi jika terus menyandang rasa sakit seperti itu. Sehari itu terasa hari terlama dan paling melelahkan sepanjang hidup yang pernah saya alami.
Sembari menunggui istri, Saya terus bedoa, sekaligus meminta doa kepada orang tua, mertua, saudara, rekan kerja dan semua sahabat agar proses persalinan istri saya berjalan lancar melalui cara normal. Berkali-kali saya masuk ke ruangan dimana istri saya berbaring menahan sakit, meski hal tersebut tidak dibolehkan oleh bidan ataupun perawat. Itu bukan karena saya tidak patuh terhadap aturan rumah sakit, namun saya lakukan hal itu demi memberikan support kepada istri yang sedang lemah tak berdaya. Dukungan suami sangat dibutuhkan dalam proses perjuangan istri ketika melahirkan anaknya, begitu menurut beberapa artikel yang pernah saya baca di internet.
Dan sepertinya Tuhan mengabulkan doa-doa yang terpanjatkan dari semua pihak. Sekitar pukul 23.15 WIB, hasil pemeriksaan bidan menyatakan bahwa proses pembukaan istri saya sudah lengkap, itu artinya sudah bisa dilakukan tindakan final yaitu mengeluarkan si bayi dari dalam rahim. Para bidan pun kemudian bersiap-siap melakukan proses membantu persalinan. Pada saat itu ada empat bidan, termasuk satu bidan praktik dari akademi kebidanan. Di sebelah kanan sang istri ada ibu mertua (ibu dari istri) mendampingi, dan saya berada di sebelah kiri.
Tindakan persalinan pun mulai dilaksanakan, kami masih terus berdoa tanpa putus sepanjang proses persalinan. Saya tak henti-hentinya membaca berulang-ulang salah satu ayat Alquran dalam surat Maryam yang diberi oleh salah satu teman SMA melalui Facebook. Ayat tersebut bermakna memerintahkan sang bayi yang ada di dalam rahim agar segera keluar melalui pintu yang sudah ditentukan atas kekuasaan Allah.
Dan Alhamdulillah, pada pukul 23.35 WIB, anak pertama kami akhirnya lahir dengan selamat secara normal dengan kondisi sempurna tak kurang suatu apapun. Berjenis kelamin laki-laki, dengan berat 3100 gram dan panjang 49 cm. Tak terasa air mata mengalir tak terbendung. Saya lantunkan adzan ditelinga kanan putra pertama kami sembari menangis. Dan saya sujudkan kening di lantai ruangan bersalin itu, kemudian memeluk satu persatu orang-orang dekat yang menunggui di luar ruangan. Jika Tuhan sudah berkehendak, dokter dan bidan mau bilang apa?
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi para pasien hamil, para suami dari istri yang akan melahirkan, para dokter spesialis kandungan, para bidan dan semua yang membacanya. Aamiin.
Cirebon, 30 Juni 2016
(55 hari sejak kelahiran anak kami)
Penulis : Ranisa, S.IP
(Pegawai Honorer Salah Satu Instansi Pemerintah)
Your is good husband and father.
ReplyDeleteAmazing. Allahu Akbar.
thanks bro..
DeleteYour is good husband and father.
ReplyDeleteAmazing. Allahu Akbar.