Thursday, November 17, 2016

OPERATOR SEKOLAH ITU ADALAH .........

Guys, bener gak ini ciri-ciri operator sekolah... artikel ini dibuat berdasarkan kumpulan curhatan dan keluhan para operator sekolah. Simak deh.. Kalo ada ciri lain yang belum ditulis, silahkan dikomentari ya...



Operator Sekolah itu ciri-cirinya kalau kita ketemu di jalan, dia naik motor kemana-mana biasanya bawa tas laptop gede.



Operator Sekolah itu meski datangnya paling telat ke sekolah, tapi pulangnya paling terakhir. yang lain udah bubar, dia masih sibuk di depan laptopnya. Karena deadlinenya harus besok. :D


Operator Sekolah itu tidak ada liburnya. Bahkan Sabtu-Minggu sekalipun di rumah tetep bawa pekerjaan. Tidurnya juga larut malam, nunggu jaringan internet lancar.


Operator Sekolah itu muara dari setiap pekerjaan dari kementerian pendidikan dan kementerian lain yang berkaitan dengan pendidikan. Meskipun dari dinas, pekerjaan diberikan ke tiap bagiannya masing-masing, tetapi kalo udah sampai bawah, ujung-ujungnya dikerjakan operator juga. Akhirnya numpuk deh jadi satu di situ.


Operator Sekolah itu bisa bermetamorfosis jadi siapapun. Bisa berperan jadi penjaga sekolah (kalo pulang terakhir, dia dipegangin kunci kantor), bisa jadi guru (bikin administrasi kelas, absen, penilaian siswa, dll), bisa jadi bendahara (kadang-kadang bikin SPJ BOS juga), bisa jadi Kepsek (mengisi kuisioner, membuat pernyataan, penilaian  kinerja guru kepsek, dll secara online yang seharusnya dikerjakan oleh kepsek), kadang-kadang operator juga bisa berperan jadi Pengawas Sekolah. Bahkan di sekolah, operator sekolah adalah orang yang paling tahu keadaan di sekolah dibanding kepseknya (jumlah guru, jumlah murid, jumlah meja-kursi, bahkan jumlah pohon yang ditanam di sekolah.) :D


Operator sekolah itu tidak boleh sakit. Lagi diinfus sekalipun, masih juga dapet sms masalah kerjaan.

Operator sekolah itu pahlawan tanpa tanda jasa sebenernya, soalnya gak imbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan honor sebulan yang dia dapat.

Sekian dulu artikel tentang Operator Sekolah, semoga Tuhan memberikan berkah dan karunia sehat, serta melapangkan rejekinya para operator se Indonesia raya, karena tanpa adanya mereka, dunia pendidikan tidak akan bisa berjalan lancar.

Wednesday, November 2, 2016

Cesar (Ditulis berdasarkan kisah nyata)


Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada para dokter kandungan dan para bidan, cerita yang saya tulis ini adalah murni hanya keinginan penulis untuk berbagi pengalaman pribadi kepada para pembaca tanpa bermaksud menyinggung pihak manapun. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati. Tulisan ini dipersembahkan kepada para calon ayah yang menanti dan ibu pejuang kelahiran buah hatinya dimanapun berada.
Pagi itu sekitar pukul 05.30 WIB., istri saya yang sedang hamil sembilan bulan mengabari dari rumah melalui BBM bahwa dia mengalami keluar cairan seperti ketuban. Dalam chat singkatnya, dia menulis bahwa cairan itu sudah keluar sejak pukul tiga dini hari. Saya yang saat itu baru bangun tidur sehabis menunaikan tugas piket jaga malam di kantor, sontak kaget membaca pesan chat tersebut. Maka tidak menunggu waktu lama, dari kantor saya langsung bergegas pulang tanpa menunggu petugas kebersihan kantor datang (biasanya menunggu petugas datang dulu baru beranjak pulang).
Ketika sampai di depan rumah, saya heran, karena masih melihat sang istri melakukan rutinitas pagi seperti biasa, menyapu halaman rumah meski terlihat jelas di wajahnya sudah menampilkan raut warna agak pucat. Dia memang seperti itu, sejak hamil trisemester pertama hingga saat-saat pra melahirkan, tidak pernah sekalipun saya melihat dia memanjakan tubuhnya. Dia melakukan hampir semua pekerjaan seorang istri seperti bukan wanita yang sedang mengandung. Kalau boleh saya memuji, dia adalah wanita paling teguh yang pernah saya temui di muka bumi. Namun kala itu, keperkasaannya terpaksa saya hentikan dan saya suruh dia untuk beristirahat, meski tetap saja dia melanjutkan kibasan laju sapu lidinya hingga dedaunan kering dan sampah terkumpul di tong sampah, baru dia mau rehat. Tak pernah saya jumpai raut wajah seletih hari itu semenjak awal kehamilannya.
Dengan perasaan cemas, saya pun sesegera mungkin menjemput paraji kampung dekat rumah yang sudah pengalaman dan sering membantu bidan dalam proses persalinan. Melihat keadaan istri, paraji itu bilang, katanya sebaiknya langsung saja menghubungi bidan karena tanda-tanda persalinan tampak sudah dekat. Saya pun mengeluarkan telepon genggam dari saku celana dan segera menghubungi bidan desa yang biasa kami datangi setiap memeriksakan kandungan rutin bulanan.
Selang lima belas menit, tepatnya pukul 06.30 WIB, akhirnya bidan yang tadi saya telepon datang dengan pakaian dinas PNS cokelat dan sekotak peralatan medis. Setelah mempersilahkan beliau masuk, sang istri langsung disuruh berbaring di ranjang kamar depan yang jauh-jauh hari sebelumnya sudah saya dan istri persiapkan untuk proses bersalin kalau-kalau melahirkan di rumah.
Hasil pemeriksaan bidan mengatakan bahwa beliau masih bingung dan tidak bisa memastikan apakah cairan yang keluar itu adalah air ketuban sebagai pertanda bayi akan lahir atau cuma cairan lain. Katanya harus dilakukan USG terlebih dahulu dan menyerahkan hasil gambarnya kepada beliau supaya bisa diketahui secara pasti. Meski sedikit aneh dengan pernyataan beliau serta jadi ragu akan keprofesionalannya sebagai bidan (tidak adakah ilmu kebidanan yang mempelajari tentang ciri-ciri ketuban?), sebagai suami sekaligus calon ayah dari anak pertama yang belum punya pengalaman sama sekali perihal persalinan, walhasil saya pun harus mengikuti saran dan anjuran si bidan. Dari dalam tasnya, beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas lalu menulis rujukan USG ke salah satu tempat praktik dokter kandungan yang kami pilih. Kemudian beliau pun pergi meninggalkan rumah kami (kemungkinan berangkat ngantor ke Puskesmas, jika dilihat dari seragam yang dipakai) setelah sebelumnya sudah saya beri amplop berisi uang atas jasanya memeriksa istri.
Jam buka tempat praktik dokter kandungan masih lama, berselang dua jam lagi, yaitu pukul 9.00 WIB baru menerima pendaftaran pasien. Dalam kondisi seperti itu, masih teringat betul betapa terasa lamanya detak jarum jam berputar, seolah lebih pelan dari biasanya. Dua jam itu serasa setengah hari. Ya, rasanya seperti setengah hari kami menunggu.
Lima belas menit sebelum jam buka, saya memutuskan untuk berangkat setelah sebelumnya sudah mendaftarkan istri melalui sms ke nomor resepsionis si dokter, dan mendapat urutan nomor delapan. Selama perjalanan ke tempat USG, di belakang saya, sesekali istri mengeluhkan mules-mules, itu hal yang wajar kata saya menyabarkannya. Dengan membawa perasaan tidak karuan seperti saat itu, perjalanan lima kilometer kami dengan menggunakan sepeda motor terasa tiga kali lipat lebih lama.
Pada saat sampai di tempat praktik dokter, kami hanya menunggu dua pasien saja sebelum tiba giliran nomor urut dan nama istri disebut oleh bagian tiket untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Itu adalah kali kedua istri saya menjalani USG di tempat tersebut, kali pertama adalah sebulan yang lalu ketika kami penasaran dengan jenis kelamin si janin kala usia kandungan delapan bulan. Jadi, sudah tidak asing lagi.
Ruangannya didesain senyaman mungkin bagi pasien, alunan musik pelan senantiasa mengalun dari sound komputer si dokter, saya ingat saat itu lagu milik Kahitna yang diputar. Si dokter pun sedikit-sedikit dengan nada pelan mengikuti lirik lagu seperti yang dilantunkan oleh sang vokalis. Di sana juga terdapat layar monitor 32" di dinding untuk melihat secara jelas gambar proses USG, dan tentu saja matras tempat berbaring pasien hamil saat diperiksa. Saya duduk di kursi di hadapan meja dokter, sementara sang istri dipandu asisten dokter untuk berbaring di matras yang barusan disebut.
Selang beberapa saat, dokter mulai mengoleskan jel khusus (penulis tidak tahu nama jelnya) dan meratakannya dengan alat deteksi USG (penulis juga tidak tahu apa nama alat tersebut) yang ada di tangannya. Sementara alat yang dipegang oleh dokter tersebut berkeliling menjelajah di permukaan perut buncit sang istri, di monitor, kami berdua menyaksikan secara jelas gerakan demi gerakan calon buah hati kami di dalam rahim. Sepertinya kelihatan sehat, normal dan dalam kondisi baik-baik saja. Di sesi pemeriksaan terakhir, dokter menghentikan (mem-pause) gerakan gambar di monitor, lalu menarik garis lurus berwarna putih menggunakan mouse. Perkiraan saya, mungkin dokter sedang mengukur panjang atau berat badan calon bayi kami.
Terdiam sesaat, si dokter lalu mengatakan bahwa istri saya sudah saatnya melahirkan dan akan dirujuk langsung ke rumah sakit. Namun dokter juga mengatakan bahwa proses persalinannya ada indikasi untuk di-Cesar (operasi bedah melalui perut). Alasan dokter adalah bahwa calon bayi kami terlalu besar, beratnya berkisar 3,660 gram sedangkan panggul istri termasuk kategori berukuran sempit, sehingga mustahil jika dilahirkan secara normal. Sungguh diagnosa yang aneh dan seperti dibuat-buat. Padahal jika kami harus flashback ke belakang, pada saat USG pertama, si dokter bilang kalau calon bayi kami sangat kurus, jadi istri saya disarankan harus banyak minum vitamin. Dokter itu sendiri yang kemudian menuliskan resepnya untuk ditebus dan harus diminum sampai habis. Harganya cukup mahal, sekitar empat ratus ribuan lebih.
Saya kaget, begitu juga dengan sang istri yang memang acap kali sebelum-sebelumnya sering bercerita kalau dia takut dan tidak mau jika pada saat melahirkan dilakukan dengan cara Cesar. Istri juga sempat menceritakan pengalaman-pengalaman temannya yang di-cesar, memang tidak lebih sakit dari melahirkan secara normal, namun katanya (teman istri saya) proses penyembuhannya yang akan memakan waktu lebih lama. Biayanya pun jauh lebih mahal (jika tidak menggunakan BPJS Kesehatan). Maka dari itulah, kamu berdua menghendaki untuk tidak di-cesar.
Saya dan istri sempat menolak dan bersikukuh dengan keputusan kami yang menginginkan melahirkan secara normal, namun dokter justru mengatakan bahwa apabila persalinan dipaksakan secara normal (keluar dari mulut rahim), resikonya adalah terjadi robek pada rahim dan menyebabkan kematian sang ibu atau calon bayi. Sungguh penjelasan yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi kecil hati dan hilang nyali. Dokter pun sempat membuat logika dengan menyuruh saya mengepalkan tangan dan memasukkannya ke dalam lubang toples berisi permen yang ada di atas mejanya. Lubang mulut toples itu lebih kecil dari kepalan tangan saya, jadi tidak mungkin kepalan tangan bisa masuk ke dalamnya. Kepalan tangan saya itu diibaratkan seolah-olah adalah kepala bayi, sedangkan mulut toples itu diumpamakan sebagai tulang panggul istri saya. Itu analogi yang dibuat dokter sebagai contoh persamaan bahwa suatu ketidakmungkinan jika istri saya bisa bersalin secara normal.
Akhirnya dengan perasaan takut, cemas, was-was, berat hati, kecewa dan perasaan tidak karuan lainnya, kami pun mau menerima keputusan dokter untuk dirujuk ke rumah sakit dan bersalin melalui proses cesar. Kami pikir mungkin itulah jalan yang terbaik, karena dokter jauh lebih mengerti persoalannya daripada kami. Kami hanya bisa pasrah.
Dokter menyarankan kepada kami agar istri dicesar di salah satu rumah sakit swasta agar bisa langsung diproses pada keesokan harinya (hari libur). Karena saat itu adalah hari Rabu, bertepatan dengan sehari sebelum libur panjang selama empat hari (Kamis-Minggu, 5-8 Mei 2016, hari libur Kenaikan Yesus dan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW). Kata dokter, jika kami memilih rumah sakit negeri, maka beliau baru bisa melakukan operasi bedah cesar sekitar hari Senin atau diupayakan hari Sabtunya. Tapi kami menolak dan lebih memilih untuk dirujuk di rumah sakit negeri, dengan harapan bahwa jeda waktu akan membawa keajaiban Tuhan (Si bayi keluar secara normal) sebelum tanggal penanganan operasi itu dilaksanakan.
Dari tempat praktik dokter, kami sempat pulang. Rencananya, kami akan mendaftarkan ke rumah sakit negeri hari Jumat sore (sehari sebelum penaganan operasi), namun ternyata menjelang petang sang istri bilang kalau cairan itu terus mengalir dan semakin banyak. Karena panik, pada pukul 16.45 WIB, saya memutuskan untuk membawa istri ke rumah sakit dan langsung menuju ke bagian IGD (Instalasi Gawat Darurat). Di sana, saya langsung melakukan registrasi, pengisian biodata dan administrasi awal lainnya, kemudian baru setelah itu istri saya ditempatkan di salah satu ruang perawatan pasien IGD bersama pasien gawat darurat lainnya. Selang beberapa saat, di luar tampak mertua beserta para saudara datang dengan membawa berbagai macam barang dan persediaan untuk bermalam di rumah sakit. Lalu saya pun ikut bergabung bersama mereka, bersama-sama dalam satu tempat yang tak jauh dari ruangan perawatan menunggui istri. Kami saling bergantian menjaga di dalam, karena di ruangan tersebut, pasien hanya boleh ditunggui oleh satu orang saja.
Petang berganti malam, malam berganti pagi, hingga hari pun bergullir Kamis, ternyata calon buah hati yang kami gadang-gadang tak jua kunjung keluar. Sementara itu, jumlah pasien pendatang baru di ruang IGD semakin bertambah banyak. Akhirnya pihak rumah sakit memutuskan untuk memindahkan sementara istri saya dari ruangan tersebut ke ruang nifas (ruangan yang seharusnya digunakan pasca bersalin). Salah satu perawat bilang bahwa istri saya boleh dibawa kembali ke tempat tadi (ruang IGD), jika tanda-tanda melahirkan muncul kembali.
Di ruang nifas itulah, tahapan demi tahapan "pembukaan" mulut rahim terjadi. Istri mulai sering merasakan kontraksi di bagian perutnya. Dan hal itu semakin sering lagi dirasakan pada ba'da duhur, sampai pada akhirnya saya memanggil bidan jaga untuk memeriksa kondisi istri. Hasil pengecekan bidan, pada pukul 14.00 WIB menyatakan bahwa istri saya sudah mengalami pembukaan tahap lima dan harus dibawa kembali ke ruang IDG untuk dilakukan tindakan proses persalinan. Lalu istri saya pun dinaikkan ke matras troli lalu didorong oleh perawat menuju tempat awal kami di rawat, namun kali ini bukan lagi di ruang perawatan, melainkan langsung masuk ke ruang bersalin. Saya bersyukur atas perkembangan ini.
Pikir saya, di ruangan tersebut istri akan langsung ditangani oleh para bidan rumah sakit. Ternyata dugaan saya salah. Segala penanganan atau pun tindakan rumah sakit adalah bergantung kepada instruksi dokter yang memberi rujukan. Para bidan tidak bisa langsung melakukan tindakan karena pada kertas rujukan dokter tertulis bahwa istri saya harus di-cesar sesuai jadwal operasi yang sudah ditentukan (Sabtu, 7 Mei 2016). Sekilas terlihat salah satu bidan jaga menelefon si dokter, menceritakan kondisi terbaru yang dialami istri saya. Selesai melakukan obrolan via telepon, bidan tersebut mengatakan kepada saya bahwa perintah dokter adalah untuk sementara masih dilakukan "observasi", yang artinya pasien masih harus melanjutkan perawatan dahulu dan belum boleh ditangani menunggu hingga ada indikasi-indikasi tahap selanjutnya. Saya pun kembali kecewa, apalagi melihat kondisi istri yang semakin melemah karena menahan rasa sakit akibat kontraksi yang bertubi-tubi. Dalam hati saya bertanya-tanya, keadaan yang sudah seperti ini, apakah masih tetap harus menunggu sampai hari Sabtu? Sedangkan sekarang masih hari Kamis. Gila! Saya mengumpat di dalam hati. Istri saya tidak akan mungkin mampu bertahan melewati sehari lagi jika terus menyandang rasa sakit seperti itu. Sehari itu terasa hari terlama dan paling melelahkan sepanjang hidup yang pernah saya alami.
Sembari menunggui istri, Saya terus bedoa, sekaligus meminta doa kepada orang tua, mertua, saudara, rekan kerja dan semua sahabat agar proses persalinan istri saya berjalan lancar melalui cara normal. Berkali-kali saya masuk ke ruangan dimana istri saya berbaring menahan sakit, meski hal tersebut tidak dibolehkan oleh bidan ataupun perawat. Itu bukan karena saya tidak patuh terhadap aturan rumah sakit, namun saya lakukan hal itu demi memberikan support kepada istri yang sedang lemah tak berdaya. Dukungan suami sangat dibutuhkan dalam proses perjuangan istri ketika melahirkan anaknya, begitu menurut beberapa artikel yang pernah saya baca di internet.
Dan sepertinya Tuhan mengabulkan doa-doa yang terpanjatkan dari semua pihak. Sekitar pukul 23.15 WIB, hasil pemeriksaan bidan menyatakan bahwa proses pembukaan istri saya sudah lengkap, itu artinya sudah bisa dilakukan tindakan final yaitu mengeluarkan si bayi dari dalam rahim. Para bidan pun kemudian bersiap-siap melakukan proses membantu persalinan. Pada saat itu ada empat bidan, termasuk satu bidan praktik dari akademi kebidanan. Di sebelah kanan sang istri ada ibu mertua (ibu dari istri) mendampingi, dan saya berada di sebelah kiri.
Tindakan persalinan pun mulai dilaksanakan, kami masih terus berdoa tanpa putus sepanjang proses persalinan. Saya tak henti-hentinya membaca berulang-ulang salah satu ayat Alquran dalam surat Maryam yang diberi oleh salah satu teman SMA melalui Facebook. Ayat tersebut bermakna memerintahkan sang bayi yang ada di dalam rahim agar segera keluar melalui pintu yang sudah ditentukan atas kekuasaan Allah.
Dan Alhamdulillah, pada pukul 23.35 WIB, anak pertama kami akhirnya lahir dengan selamat secara normal dengan kondisi sempurna tak kurang suatu apapun. Berjenis kelamin laki-laki, dengan berat 3100 gram dan panjang 49 cm. Tak terasa air mata mengalir tak terbendung. Saya lantunkan adzan ditelinga kanan putra pertama kami sembari menangis. Dan saya sujudkan kening di lantai ruangan bersalin itu, kemudian memeluk satu persatu orang-orang dekat yang menunggui di luar ruangan. Jika Tuhan sudah berkehendak, dokter dan bidan mau bilang apa?
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi para pasien hamil, para suami dari istri yang akan melahirkan, para dokter spesialis kandungan, para bidan dan semua yang membacanya. Aamiin.

Cirebon, 30 Juni 2016
(55 hari sejak kelahiran anak kami)
Penulis : Ranisa, S.IP

(Pegawai Honorer Salah Satu Instansi Pemerintah)

Monday, September 21, 2015

Mang Abas, Musisi Tarling Terkenal yang Beralih Profesi Menjadi Tukang Jual Alat Elektronik Keliling (Bagian 3 - End)

"Sekarang ini, sudah mulai berkurang orang-orang kreatif di bidang seni musik, apalagi seni musik tarling. Sekarang jamannya sudah serba instan. Bagaimana mau kreatif  belajar alat musik, wong alat musiknya sekarang sudah masuk di organ tunggal semua. Suara Gendang, Drum, Gitar, Bass, Piano, Terompet, bahkan Seruling, semuanya bisa dibikin pakai komputer menggunakan alat yang dinamakan organ tunggal itu. Nanti tinggal disimpan di disket (memory card red). Simpel kan, Mas?"

Saya pun mengangguk-angguk mengiyakan apa yang diceritakan Mang Abas. Lalu Mang Abas kembali meneruskan.

"Kalau saja pas manggung ada yang rese, disket player organ diumpetin atau dibawa kabur atau hilang. Bisa-bisa hiburannya gagal main. Kalau ada yang tanya kenapa batal pentas? Tinggal bilang saja disketnya error. Sudah aman. Kalau dulu kan tidak seperti itu. Karena semua personil pegang alat musik, tidak ada yang namanya istilah error

"Jaman sekarang, Tukang Kendang sama Tukang Suling masih dipakai meski sudah ada organ tunggal itu biar musiknya lebih enak didengar saja, Kesannya lebih alami. Ibarat masakan, bumbunya pakai bahan asli, bukan bumbu kemasan yang beli di Alfamart. Jadi rasanya lebih sedap. hehehe."

"Jadi sekarang sudah tidak ada anak muda yang belajar alat musik tradisional lagi Mang? Ada tidak yang belajar Suling ke Mang Abas?" Saya menyela dengan pertanyaan ditengah-tengah cerita Mang Abas.

"Mang Abas tidak buka kursus, Mas, jadi tidak ada yang belajar sama Mang Abas. Tapi setau Mang Abas sih masih ada anak-anak muda yang bisa nyuling meski bisa dihitung pakai jari. Keterampilan mereka rata-rata masih belum mahir, cuma lumayan kalau bakatnya diteruskan bisa jadi penerusnya Mang Abas kelak." Jawab Mang Abas.

"Oh begitu, Saya pikir sudah tidak ada sama sekali. Soalnya di daerah saya juga ada seniman tarling besar, Tukang Gitar Melodinya Putra Sangkala pimpinan H. Abdul Adjib. Namanya Mang Bustam. Beliau mahir sekali memainkan gitar irama tarling, petikan-petikannya khas dan beraroma tradisional. Sekarang beliau sudah meninggal dan keahlian gitarnya tidak ada yang meneruskan. Sayang sekali seniman sehebat itu generasinya harus terputus dan tidak diwariskan." Kata Saya meneruskan perbincangan.

"Mang Bustam yang tinggal di Blok Rancabolang Desa Bringin itu? Mang Abas juga kenal. Pokoknya kalau sama musisi-musisi senior pasti tahu. Mungkin di daerah Mas tidak ada yang meneruskan perjalanan seni Mang Bustam, tapi siapa tahu di lain daerah beliau punya anak didik. Kita tidak tahu pasti". Kata Mang Abas.

"Benar juga, semoga saja ada yang mewariskan keahlian beliau." Kata Saya.

Waktu menunjukkan sudah pukul dua siang, artinya sudah dua jam lebih saya ngobrol ngalor ngidul dengan Mang Abas. Akhirnya saya pun permisi kepada Mang Abas, tetapi sebelumnya, saya tidak jadi membeli Powerbank, yang saya beli terminal USB untuk CPU kantor.

Setelah saya memberikan uang seharga barang yang saya beli, saya pun masuk ke ruang kerja untuk kembali duduk di depan komputer yang sudah tidak dipakai oleh operator sekolah.

Cerita Mang Abas, setidaknya bisa memberikan gambaran betapa langkanya para generasi muda yang mau meneruskan seni tradisional Cirebon. Mudah-mudahan setelah membaca blog ini, ada banyak yang mendapatkan pencerahan, setidaknya tergugah hatinya untuk turut serta menjaga dan melestarikan tradisi lokal.

Semoga akan banyak Mang Abas dan Mang Bustam muda yang muncul mengisi gersangnya tanah kesenian Cirebon atau kesenian daerah-daerah lainnya di Indonesia. Aamiin.



T A M A T

Tuesday, September 15, 2015

Mang Abas, Musisi Tarling Terkenal yang Beralih Profesi Menjadi Tukang Jual Alat Elektronik Keliling (Bagian 2)

Sumber gambar: https://www.youtube.com/watch?v=bPd6C_sxAM0

"Mang Abas asli Cirebon, Mas. Lahir di Desa Gegesik. Sekarang menikah sama orang Kebonturi, tepatnya di belokan setelah jembatan daerah sepanjang sungai. Mang Abas memang jarang berjualan. Jualan kalau lagi nganggur saja." Jawabnya, sekaligus membuat saya jadi tahu kalau nama panggilannya adalah 'Mang Abas'.

"Berarti jualan cuma sambilan aja, Mang? Memangnya profesi Mang Abas apa?" Tanyaku sedikit heran.

"Iya, Mas. Karena sekarang Bulan Kapit (nama salah satu bulan Jawa red), tidak ada acara hajatan, jadi Mang Abas nganggur. Biasanya kalo banyak yang hajatan, Mang Abas keliling kota. Jualannya disimpan di rumah." lanjutnya menceritakan.

Saya semakin penasaran dengan Mang Abas, apa sebenarnya pekerjaan utama selain berjualan keliling. Saya pun mengulangi pertanyaan tadi: "Jadi profesi Mang Abas sebenarnya apa?"

"Mang Abas Seniman Freelance, Mas. Biasanya diajak sama Player Organ Tunggal kalau ada acara hiburan hajatan buat ngisi suara suling."

"Oooohh.. Jadi Mang Abas Tukang Suling?". Saya bertanya lagi.

"Iya betul, Mas. Sekarang-sekarang ini Tukang Suling sudah jarang. Makanya susah dicari, dan kalau banyak hajatan, Saya sibuk melanglang buana kesana-kemari dari Organ satu ke Organ lain. Dari tempat satu ke tempat lain". Mang Abas menceritakan dengan nada bangga menjadi salah satu seniman senior yang masih ada di tanah Cirebon.

Saya masih penasaran dan terus menyimak secara serius apa yang disampaikan Mang Abas. Beliau pun meneruskan obrolannya.

"Sekarang jadi seniman enak freelance, bebas dan tidak terikat oleh satu grup musik saja. Soalnya kalau terikat satu grup, saingan grup musik kan banyak, malah nanti jarang dapat job. Beda sama dulu, kalau dulu Mang Abas cuma jadi anggota satu grup tarling saja, dan pada waktu itu masih belum ada alat musik yang namanya organ tunggal. Para musisi juga memang benar-benar mahir memainkan alat musiknya masing-masing. Makanya meski cuma jadi member satu grup, jam terbang Mang Abas tetap tinggi. Beda dengan sekarang.

Grup Tarling Mang Abas sempat jadi Grup Tarling paling laris dulunya. Mas juga pasti tahu. Namanya Grup Tarling Candra Lelana dari Arjawinangun, pimpinan Maman S. Albumnya sudah banyak dan booming di masyarakat pada saat itu. Ada album berupa Tarling lakon, ada juga yang lagu-lagu. Maman S. biasanya berduet sama istrinya. Mas pasti tahu juga. Namanya Iyeng. Dia artis tarling paling tenar di zamannya.

Dulu, waktu Mang Abas muda. Rekan-rekan musisi banyak yang jadi orang kaya, apalagi pimpinan tarlingnya. Boleh dibilang, profesi seniman tarling bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan lebih dari cukup. Karena selain jam terbangnya tinggi, biaya sewanya juga tergolong mahal."

Mang Abas terhenti sejenak, dia lalu mengambil rokok di saku celananya kemudian menyulut satu batang dan menghembuskan asapnya hingga mengepul memenuhi ruangan depan kantor. Beliau pun menawarkan rokok kepada Saya, namun saya tolak karena Saya tidak merokok. kemudian kembali melanjutkan cerita.

"Kalau sekarang, Mang Abas jadi tukang suling bukan karena bayarannya. Tetapi karena hobi dan panggilan batin saja selama masih ada kesempatan menunjukkan keterampilan kepada masyarakat. Mang abas cuma dapat uang dua ratus lima puluh ribu sekali manggung dari jam sepuluh siang sampai jam dua belas malam. Kalau ada tambahan dua jam di atas pukul dua belas malam, Mang Abas dapat tambahan uang seratus ribu lagi.

Sekarang yang paling gede itu bayarannya Player Organ, kisarannya dari empat ratus ribu sampai enam ratus ribuan. Katanya sih karena harga alatnya saja bisa buat beli motor satu. Berikutnya tukang kendang, mungkin karena tukang kendang personil yang paling banyak mengeluarkan energi.

Sekali lagi, intinya Mang Abas bukan fokus masalah besar bayaran. Tapi semata-mata murni ingin melestarikan budaya lokal, khususnya budaya tarling. Kalau masalah uang, penghasilan dagang jauh lebih besar dari ndalang. Kemarin saja, pas lagi beruntung, Mang Abas bisa dapat uang sampai sejuta dua ratus cuma sampai jam dua siang."

Saya jadi semakin tertarik mendengarkan kisah hidup Mang Abas ini. Tak terasa, sudah sejam lebih Saya berada diruangan itu. Kebetulan komputer yang biasa saya pakai untuk bekerja sedang dipakai Operator Sekolah yang numpang memperbaiki data. Jadi saya masih bisa tenang melanjutkan cerita selanjutnya dari Mang Abas. Beliau pun melanjutkan ceritanya.


BERSAMBUNG

Monday, September 14, 2015

Mang Abas, Musisi Tarling Terkenal yang Beralih Profesi Menjadi Tukang Jual Alat Elektronik Keliling.

sumber gambar: http://rudyarra.blogspot.co.id/


Namanya Mang Abas. Saya mengenalnya ketika pada suatu siang dia datang ke kantor membawa sekardus alat-alat elektronik berupa powerbank, macam-macam charger, musik box dan sebagainya lalu menawarkannya kepada semua staf yang ada di kantor Saya.

"Powerbank, Pak!" tawarnya sambil mengangkat salah satu produk powerbank Samsung dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya memegang barang lain semacam lampu portabel. "Murah, Pak, kita pakai harga grosir. Sekalian promosi juga, lagi cari pelanggan!". Lanjutnya dengan lancar karena mungkin sudah terbiasa mempromosikan barang dagangan.

Saat itu saya sedang asik menikmati gado-gado kiriman istri di salah satu meja yang biasa digunakan untuk menaruh buku tamu di depan pintu. Kedatangannya sempat menarik perhatian Saya dan mengalihkan pandangan mata Saya dari sisiran lontong penuh bumbu kacang dengan sayuran kangkung dan kecambah itu menuju powerbank yang dipegangnya. Tapi kemudian Saya kembali melanjutkan menyantap gado-gado yang sebentar lagi hampir habis tersebut karena di tas kerja Saya sudah ada dua powerbank yang biasa dibawa-bawa kemanapun setiap Saya bepergian agak lama atau dengan jarak tertentu.

Saya selalu tertarik dengan penjual atau pun sales yang datang langsung menawarkan produknya, karena selain tidak usah repot-repot pergi ke toko-toko untuk membeli, harga barang yang ditawarkan juga biasanya agak sedikit lebih murah. Makanya setelah tuntas menghabiskan kiriman sang istri tercinta tanpa sisa sedikitpun, Saya iseng-iseng tanya-tanya harga barang yang ditawarkannya. Tentunya selain powerbank yang Saya ceritakan tadi.

"Yang ini berapaan, Mang?" Tanya Saya sambil memegang musik box dengan model minuman kaleng Coca-Cola. "Lima puluh ribu, Mas." Jawabnya. "Kalau yang ini lebih mahal, karena suaranya lebih bagus dan model paling anyar". lanjutnya sambil menunjuk musik box model bola kristal seperti lampu diskotik. Kemudian beliau mengambil barang tersebut dan menggeser tombol kecil berwarna hitam ke posisi ON hingga lampu indikator warna biru kecil di sebelahnya menyala. kemudian beliau memasukkan kepingan microSD ke dalam lubang yang memang tersedia pada musik box tersebut.

Selang beberapa saat, alunan musik pun keluar dari sound musik box yang dia pegang, kemudian kerlap-kerlip lampu warna-warni pun bergantian menyala. Pergantian warnanya  seolah mengikuti irama lagu tarling organ tunggal yang mengalun. Benar saja yang dikatakan orang itu (sebelum Saya tahu nama), suaranya terdengar sudah stereo dan dentuman basnya terasa nendang banget.

"Wah, suaranya mantap ya, Mang. Berapa harganya?". Tanya Saya penasaran. "Seratus ribu saja". Jawabnya. "Kalau di toko, ini bisa sampai Seratus lima puluh ribu, Mas." Katanya meneruskan.

"Mahal juga ya, Mang. Harga pas atau masih bisa nawar nih?" tukas Saya. "Harga pas, Mas. Semuanya pakai harga pas, soalnya itu kan sudah murah." Jawabnya.

"Saya kira masih bisa nawar. Tapi bingung juga sih Mang, mau beli musik box juga takut nantinya jarang dipakai. Jaman sekarang musik sudah di hape semua, kalau mau lebih enak didengar tinggal colok sound atau headset, suaranya bisa lebih bagus dari musik box." Jawab Saya sambil sedikit tersenyum. Kalimat itu sengaja Saya lontarkan untuk mengakhiri proses percakapan transaksi, karena memang dari awal Saya cuma iseng saja tanya-tanya harga.

"Iya, Mas. Betul. Cuma bedanya kalau mendengarkan di hape, musiknya berhenti ketika ada orang yang nelfon. kalau di musik box kan tidak ada iklannya (tidak ada jeda atau gangguan selama mendengarkan lagu red). musiknya jalan terus. Hehehe." Dia menyahut dengan sedikit candaan.

"Hahaha.. Si Mamang bisa aja." Saya tidak tahan tertawa mendengar kalimat guyonan tadi.  Kemudian bertanya: "Ngomong-ngomong, Mamang pulang kemana? Perasaan mukanya tidak asing, tapi Saya belum pernah lihat jualan ke sini."


BERSAMBUNG

Wednesday, September 2, 2015

Life Is Like Playing Hula Hoop

Hidup butuh keseimbangan, bergerak secara aktif jika ingin perputarannya terus berjalan secara stabil. Sekejap saja kita oleng dan tak stabil, maka perputaran itu akan terhenti dan kehidupan kita pun terjatuh. Kita harus kembali memulainya dari awal, menempatkan secara benar, kemudian berjalan secara perlahan, semakin cepat dan akhirnya berputar lagi dengan normal.


Keseimbangan hidup ini seringkali sama dengan keseimbangan manusia ketika memainkan Hula Hoop. Sebuah permainan berasal dari Hawai yang biasanya terbuat dari bambu, rotan ataupun kayu yang dilenturkan sehingga membentuk lingkaran menyerupai gelang besar. Hula Hoop banyak dimainkan oleh para wanita, karena hampir sebagian wanita pandai bergoyang pinggul. Kenapa begitu? karena hula hoop erat kaitannya dengan pinggul.dan goyangan. Permainan hula hoop bertumpu di bagian perut, tepatnya di atas pinggul. Semakin bagus goyangan pinggul si pemain, semakin lama, semakin banyak dan semakin indah putaran hula hoop di perut si pemain.



Begitu halnya dengan kehidupan manusia, manusia dituntut untuk terus bergerak jika ingin eksistensi kehidupannya bertahan. Pergerakan manusia menjadi satu-satunya jalan menuju harapan dan keinginan terbesarnya. Semakin aktif manusia bergerak, maka akan semakin tinggi harapan untuk mencapai cita-citanya. Tentunya bukan hanya bergerak, manusia juga harus mempertahankan keseimbangan pergerakannya. Keseimbangan ini sering disebut dengan kata konsisten atau istikomah.




Perumpamaan hidup sangat beragam, anda pun bisa membandingkan kehidupan anda dengan hal lain selain hula hoop. 

sumber gambar:  zestyzombie

sample video permainan hula hoop: Gadis Kecil dengan Hula Hoop